Amal Hizbullah Basa

Risalah ad-Da'wah

Teori Emanasi Menurut Ibnu Sina

download (2)

Pendahuluan

Allah SWT menganugrahkan akal kepada manusia sebagai bentuk keistimewaannya, karena dengannya kita dapat mengatahui yang baik dan yang buruk. Pada fitrahnya, akal juga diberikan keistimewaan yang oleh Allah, yaitu rasa ingin tahu yang mendalam tentang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Karena pada dasarnya manusia dilahirkan di dunia ini tidaklah mengatahui apa-apa, namun seiring berjalannya waktu, akal manusia berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu akal menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan akal manusia dapat terangkat drajatnya menjadi alim atau orang yang mengetahui, dan akal pula yang membedakan manusia dengan binatang

Pada pembahasan filsafat, akal atau cara berfikir menjadi ciri khas sebuah kajian filasafat. Hal ini ditujukan untuk menggali sebuah ilmu secara mendalam, karena ia merupakan aktifitas berpikir yang sangat mendalam yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran yang hakiki.[1] Karena dalam filsafat, penggunaan akal menjadi sangat urgen yang menunjukkan aktivitas pemikiran yang dilakukan.[2] Banyak filosof yang menuangkan hasil dari pemikirannya ke dalam tulisan maupun perbuatan sehari-harinya, hal ini menunjukkan aktivitas berpikir mendalam yang mereka lakuakan.

Tidak hanya Barat, Islam pun memiliki para filosof hebat yang memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa. Akan tetapi, bagi seorang muslim yang ingin memperdalam filsafat tidaklah boleh keluar dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.[3] Hal ini ditujukan untuk membentengi mereka dari hal-hal yang dapat melencengkan pemikiran mereka, sehingga dapat menyesatkan yang lainnya.

Salah satu kajian filsafat yang paling menarik para filosof untuk mengkajinya adalah teori emanasi, yang menyatakan bahwa penciptaan alam ini merupakan  pancaran dari Yang Satu[4]. Banyak para filosof yang memberikan pandangan atau pemikiran akan hal ini, karena mengingat teori emanasi merupakan terori yang sangat membingungkan, sehingga memerlukan proses berpikir yang mendalam dan memakan waktu yang cukup lama. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji teori emanasi Ibnu Sina, karena beliaulah yang menjadi sorotan utama dalam teori ini, mulai dari makna emanasi secara bahasa, secara istilah dan beberapa pendapat para filosof akan teori ini

  1. Pengertian Teori Emanasi

Diskursus mengenai penciptaan alam semesta, banyak dari para filosof yang berbeda pandangan dalam hal ini. Perbedaan pandangan itu terletak pada beberapa persoalan yang sangat mendasar terkait dengan  teori emanasi, antara lain apakah ada karena memang sudah ada? ataukah alam ini ada karena memang ada yang menciptakannya? keduanya sangat menarik para filosof untuk mengkajinya secara komprehensif, sebab ini menjadi hal yang harus dikaji kebenarannya.

Kata emanasi, dalam bahasa Inggris di sebut emanation yang berarti sebuah proses munculnya sesuatu dari pancaran, bahwa yang dipancarkan substasinya sama dengan yang memancarkan[5]. Sedangkan dalam kamus filsafat emanasi  berarti doktrin mengenai terjadinya dunia. Dunia terjadi karena dan oleh peroses dimana yang ialhi meleleh. Sebuah alternatif doktrin penciptaan. Konsep emanasi menghubungkan tata kekal dan tata sementara, biasanya melalui tahapan antara. Di Barat, Genetisisme dan Neoplatonisme merupakan emanasionik. Filsafat-filsafat panteistik condong ke arah ini[6]. Dari penjelasan kata emanasi di atas maka dapat dikatakan bahwa, emanasi berarti sebuah doktrin yang mencoba mengulas tentang sebuah penciptaan alam, yang ditujukan untuk mencapai sebuah kebenaran yang absolut.

Dalam tradisi filsafat Islam, teori emanasi memiliki hubungan iluminatif menurun, yakni berawal dari prinsip pertama atau akal pertama hingga ke prinsip atau akal terendah yaitu alam[7].  yang dalam pembahasannya Ibnu Sina mengenai doktrin Aristoteles tentang kuasa pertama atau as-Sabab al-Hakiki (sebab utama) yaitu Tuhan.

  1. Teori Emanasi Menurut Ibnu Sina

Menilik dari teori Ibnu Sina dalam studi eksistensi, terkait dengan masalah  pemikiran membawanya untuk membahas secara mendalam menganai beberapa pemikir atau filosof yang dalam hal ini memiliki otoritas untuk mencari solusi padanya, dan kejelasannya, yang berkaitan dengan masalah-masalah mengenai penciptaan yaitu (hubungan antara Allah dan alam) ia mengatakan bahwa, pembahasan filosof dalam hal ini, pemikirannya sangat dipengaruhi oleh pemikiran para filosof Yunani[8].

Dalam pembahasan filsafatnya mengenai penciptaan alam, Ibnu Sina tidaklah jauh berbeda dengan teori yang di usung al-Farabi, seingga tingkat kesulitan yang dialami dalam membedakan pendapat keduanya akan terasa, hal ini karena dalam teori mereka berdua memiliki kemiripan yang cukup signifikan. Sebagaimana yang diketahui bahwa emanasi merupakan dan berasal dari sebuah teori filosof Barat yakni Plotonus yang mengatakan bahwa, terjadinya alam ini merupakan sebuah pancaran dari Yang Esa. Dalam hal ini Ibnu Sina mengamini perkataan Plato tersebut, karena ia beranggapan bahwa alam ini tidaklah diciptakan, melainkan adanya merupakan pancaran dari Tuhan.[9] Teori ini yang kemudian kritik oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, yang menyatakan bahwa Allah adalah dzat yang qadim dan maha dahulu dan bersifat abadi. Jika alam merupakan pancaran dari Yang Kuasa (Allah) berarti alam memiliki substansi yang sama dengan Yang Mencipta (alam kekal). Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan, karena substansi alam tidaklah sama dengan Yang Mencipta (Allah).

Numun kemudian pendapat Plato mengenai terjadinya alam tersebut di Islamkan oleh Ibnu Sina. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah penyebab yang pasif dalam terjadinya alam di ubahnya menjadi Allah sebagai Pencipta yang aktif. Dia menciptakan alam dari sebuah materi yang sudah lebih dahulu ada yang berasal dari sebuah pancaran. Adapun proses terjadinya pancaran tersebut adalah sebuah proses di mana ketikan Allah menjadi wujud (bukan dari tiada) sebagai Akal yang langsung memikirkan berta’aqqul terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah Akal Pertama, begitu proses ini seterusnya sehingga mencapai proses yang ke-10[10]. Pndapat Ibnu Sina mwncoba mendekontruksi pemikiran Plato mengenai terjadinya alam yang Allah menurutnya sebagai penyebab yang pasif menjadi penyebab yang aktif.

Ibnu Sina secara sistematis merumuskan doktrinnya tentang teori emanasi dengan penjelasan sebagai berikut, “emanasi (suatu bentuk penciptaan di alam non materi) adalah bentuk perwujudan dan pemanifestasian sebuah eksistensi yang lain, dan bergantung kepada eksistensi yang lain tanpa perantaraan materi instrumen ataupun waktu. Akan tetapi sesuatu di dahului oleh yang non eksistensi dalam waktu tidak akan membutuhkan perantara. Tindak emanasi, karenanya, menduduki frajat yang paling tinggi ketimbang tidak penciptaan (penciptaan dalam hubungannya dengan alam materi) dan kontingensi.[11] Jadi dalam pembahasan teori emanasi menurut Ibnu Sina, emanasi merupakan tingkatan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan penciptaaan yang masih memerlukan ruang dan waktu. Dalam hal ini sangat jelas bahwa, definisi dari teori emanasi yang dengannya perhatian kita ditarik kepada kenyataan bahwa emanasi memiliki keutamaan atas gagasan penciptaan dan sepanjang perosesnya tidak diperantarai atau bahkan didahului oleh waktu atau bahkan materi.

Untuk menjelaskan teorinya mengenai emanasi, ia kemudian memberi garis besar terhadap bukti metafisik doktrinnya menganai emanasi yaitu, Gagasan bahwa suatu kuasa yang membuat sesuatu menjadi wajib ada berbeda dengan gagasan bahwa kuasa itu membuat sesuatu yang lain juga menjadi wajib ada. Jika eksisitensi kedauanya disebabkan oleh satu hal, maka yang satu ini (sebagai sebab) harus (dari perspektif yang berbeda) dan realitas-realitas yang berbeda pula.[12] Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa, jika kedua susuatu antara wajib al-Wujud dengan mumkin al-Wujud terjadi dalam satu waktu maka tidaklah dikatakan sebagai emanasi.

Dengan demikian, setiap segala sesuatu yang wujudnya mewajibkan dua hal atau terwujud darinya dua wujud secara bersamaan, sehingga tak satupun dari keduanya melalui dan dengan campur tangan sesuatu yang lain, maka hakikat wujudnya adalah sama atau berbentuk satu sebstansi, karena ia memiliki dua sisi yang berbeda.[13]

  1. Teori Emansi Menurut Al-Farabi

Berlainan dengan al-farabi yang mengamini bahwa, penciptaan alam ini merupakan hal yang baru, yang merupakan hasil pancaran yang ia sebut sebagai Nadhariyatu al-Faodl. Dalam teorinya al-Farabi mengatakan bahwa wuud alam merupakan sebuah pancaran dari Yang Satu, di sini wajib al-Wujud Allah memancarkan dzat-Nya segingga alam merupakan pancaran dari-Nya. Hal ini terjadi ketika Allah berfikir (akal pertama) yang kemudia berkembang dan terus berkembang hingga akal ke-10.[14]

Sebenarnya, al-Farabi menemui kesulitan tentang bagaimana terjadinya alam ini yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) dan jauh dari materi yang Maha Sempurna. Menurut para filosof Ynuani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Tuhan merupakan Penggerak Pertama (Prime Cause), seperti yang di nyatakan Aristotels. Sementara dalam Islam, Allah merupakan Pencipta yang menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menajdi ada (creito ex nohilo). Untuk meluruskan  doktrin Aristotels tersebut al-Farabi memulainya dengan menjelaskan teori penciptaan. Dengan demikian, Tuhan sebagai penggerak menurut Aristotels berubah menjadi Tuhan sebagai pencipta atau yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan bermaksud menjelaskan bahwa Allah menjadi Pencipta sejak zaman azali dan materi alam berasal dari energi yang kadim. Oleh karena itu, menurut para filosof muslim kun Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an ditunjukkan sebagai syai’ (sesuatu) bukan kepada ­la syai’ (tidak ada sesuatu[15].

Emanasi dalam pemikiran al-Farabi adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tetang diri-Nya, dan pemikiran itu timbul sesuatu bentuk lain. Tuhan itu adalah wujud pertama dan qadim, dan dengan pemikiran tersebut maka timbullah wujud ke dua yang juga mempunyai substansi. Hal itu ia sebut sebagai akal pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dengan pemikiran  itu maka muncullah wujud ke tiga dan seterusnya hingga mencapai akal ke-10.

 

Kesimpulan

Teori emanasi Ibnu Sina mencba meluruskan beberapa teori yang di usung oleh para filosof Yunani terkait kan terjadinya alam yang mengatakan bahwa Tuhan tidaklah menciptakan alam, melainkan wujud alam merupakan pancaran dari Tuhan itu sendiri. Jika demikian akan timbul asumsi bahwa Tuhan adalah penggerak yang pasif bagi alam. Dengan teori yang di usung Ibnu Sina, ia mencoba meluruskan teori-teori tersebut dengan menjadikan Tuhan sebagai pencipta, jadi wujud alam merupakan ciptaan dari Sang Maha Kusa (Allah). Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam teori emanasi, Tuhanlah sebagai Pencipta alam, bukan wujud alam sebagai pancaran dari Tuhan. Wallahu A’la bi ash-Showab.

Biblografi

Sayyed Hossein Nasr, Iliver Leaman, Ensikloprdi tematis Filsafat Islam, Jakarta, Mizan

Echols, M.. John, Shadily Hasan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Abadi, cet 2010

Bagus Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Abadi, cet. 2005

Ahmad, Filsafat Umum, cet-2 Bandung: PT. Remaja Posdakarya

Suhrawardi, Kitab al-Thawihat, 5054

Mohammad Mulish, Pengantar Ilmu Filsafat, Ponorogo, Darussalam Unversity Press 2008

العقاد محمد عباس، الفلسفة القرآنية، منشورات المكتبة العربية، بيروت

عباس محمد العقاد، الفلسفة القرآنية (كتاب عن مابحث الفلسفة الروحية والاجتماعية التي وروت موضوعاتها في آيات الكتاب الكريم)، بيروت منشورات المكتبة العصرية

زركشي، أمل فتح الله، علم الكلام (تاريخ المذهب الإسلامية وقضاياها الكلامية، جامعة دار السلام للطباعة 2011

إبن سينا، الشفا في الإلهيات، منشورات مكتبة آية الله العظمى المرعشي النجفي 1404

دعوة عفى، المجلة الشهرية تعلو بالدراسات الإسلامية  والفكر

إبن سين، الإشارت والتنبيهات، المجلد الثالث

الدكتور أمل فتح الله زركشي، ققيدة التوحيد، جامعة دار السلام للطباعة، 2009

[1] Mohammad Mulish, Pengantar Ilmu Filsafat, Ponorogo, Darussalam Unversity Press 2008, p. 1, Lihat juga di Sayyed Hossein Nasr dan Iliver Leaman, Ensikloprdia Tematis Filsafat Islam, Mizan, p.289

[2] Ibid, p. 2

[3] عباس محمد العقاد، الفلسفة القرآنية (كتاب عن مابحث الفلسفة الروحية والاجتماعية التي وروت موضوعاتها في آيات الكتاب الكريم)، بيروت منشورات المكتبة العصرية، ص 11

[4] الدكتور أمل فتح الله زركشي، ققيدة التوحيد، جامعة دار السلام للطباعة، 2009، ص

[5]  John M. Echols Kamus Inggris Indonesia, Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama, cet. 1992, p.

[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta  PT. Gramedia Pustaka Utama, p. 193

[7] Suhrawardi, Kitab al-Thawihat, 5054

[8] الدكور أمل فتح الله زركشى، علم الكلام (تاريخ المذهب الإسلامية وقضاياها الكلامية، جامعة دار السلام للطباعة 2011، ص 335

[9] إبن سينا، الشفا في الإلهيات، منشورات مكتبة آية الله العظمى المرعشي النجفي 1404، ص28

[10] Ibid, p. 29

[11] إبن سين، الإشارت والتنبيهات، المجلد الثالث، ص 95

[12] الشيخ الرئيسي أبي الحسين بن عبد الله بن سينا، المبدا والمعاد، مؤسسة مقالات أسلامي، دانسكاه مك كيل، ص 75

[13] إبن سين، الإشارت والتنبيهات، المجلد الثالث، ص 95.

[14] دعوة عفى، المجلة الشهرية تعلو بالدراسات الإسلامية  والفكر، المأخوذ في التاريخ 22 من ديسامبير سنة 2014

[15] Ahmad, Filsafat Umum, cet-2 Bandung: PT. Remaja Posdakarya, p. 24

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on 1 Januari 2015 by in Filsafat.

Statistik Blog

  • 30.755 hits

Kategori

Komentar Terbaru

hanifys pada lain dulu lain sekarang